Menjadi Yang Kedua dan Terakhir

Karya Reylita Putri

 

Part I

Hari ini, tanggal 4 Mei, menjadi hari terakhir aku bisa menatap wajah kakek. Dini hari tadi, kakek dilarikan ke rumah sakit dan sekitar jam sepuluh pagi kakek dikebumikan. Tak pernah terbayangkan olehku kakek menyusul nenek beberapa minggu setelah nenek meninggal dunia. Padahal tiga hari yang lalu kakek baru berulang tahun yang ke-87. Kami berdua masih bercengkrama seperti biasanya. Kakek meniup lilin dengan senyum tipis yang membuat keriput-keriput diwajahnya tertarik. Harapan-harapan yang ia panjatkan masih terngiang jelas di ingatanku.

“Umurku sudah cukup panjang, aku tidak punya harapan apa-apa lagi untuk diriku sendiri,” Kakek menggantungkan kalimatnya sambil menatap lilin di kue.

“Tapi aku akan berdo’a untuk cucuku satu-satunya ini, Ratna. Aku berharap kamu bisa bertemu orang-orang yang baik dan membuat keluarga yang bahagia.” Sambung kakek, baru setelah itu ia menatapku.

Senyumku mengembang ketika mendengar ucapannya. Lalu aku tersadar akan sesuatu, dan menanyakan hal yang random ini pada kakek.

“Sebelumnya kakek pernah jatuh cinta ‘kan? Maksud ku, cinta pertama?” Aku sangat penasaran apa mungkin cinta pertama kakek adalah nenek?

“Pernah, aku jatuh cinta pertama kali di umur 19 tahun.”

“Apa perempuan itu nenek?”

“Bukan.”

“Lalu siapa?”

“Kamu tidak kecewa kalau bukan nenekmu cinta pertamaku?”

Aku menggeleng, lalu mengusap tangan keriput beliau.

“Mana mungkin aku kecewa …”

“ … Tapi kalau kakek memang punya, aku jadi ingin tahu siapa orangnya dan bertemu dengannya.” Tambahku. Kakek terkekeh pelan lalu mengusap pucuk kepalaku.

“Kamu pasti bertemu dengannya. Aku bisa saja pergi dari dunia ini dengan membawa penyesalan terhadap perempuan itu.” Setelah berucap demikian kakek tidak berkata apa-apa dan langsung meniup api di lilin-lilin kue itu.

Entah kenapa aku merasakan ada yang mengganjal dari ucapan kakek tetapi aku tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut. Namun sekarang, aku bahkan bisa paham perasaan kakek ketika berucap demikian.

Ia menyesali perbuatannya terhadap cinta pertamanya.

Kakek ku, dahulu beliau seorang tentara veteran. Beliau mengikuti jejak paman yang mengasuhnya. Kakek kehilangan orang tuanya ketika insiden Bandung dibumi hanguskan, 1945. Saat itu umur kakek baru sepuluh tahun dan tak bisa kubayangkan bagaimana anak sekecil itu menghadapi musibah yang menimpanya.

Tak terasa, seminggu telah berlalu setelah kepergian kakek. Aku memutuskan untuk membongkar dan membersihkan rumah peninggalannya. Awalnya aku berniat untuk tinggal disini Tetapi ayahku melarangnya. Ayah bilang rumah ini akan dijadikan kos-kosan putri, agar rumah ini selalu ramai.

Ketika sedang bersih-bersih dikamar kakek, sebuah kotak dibawah meja menarik perhatianku. Ukurannya sebesar kotak sepatu. Aku merasa seperti menemukan harta karun ketika membukanya, namun ternyata kotak ini hanya berisikan kertas-kertas yang kuyakini adalah surat.

Berdebu, tua dan menguning. Tiga hal itu sangat mendeskripsikan kotak dan surat-suratnya. Semua Surat ini ternyata pesan-pesan yang kakekmu kirimkan pada nenek. Terdapat surat balasan dari nenek juga disana. Waktu berputar dalam surat itu dari tahun 1955 hingga 1970. Jarak waktu yang sangat panjang. Ada yang kisaran beberapa bulan sampai tahun. Tulisannya juga ada yang memudar seiring berjalannya waktu.

Aku merasa sedang berada dizaman 90-an ketika membaca semua surat itu. Dari surat ini aku baru mengetahui jika kakek orang yang sangat romantis dan nenek adalah tipe orang yang pemalu. Mungkin karena itu mereka lebih leluasa mengekspresikan diri didalam tulisan dari pada secara langsung.

Terdapat juga sebuah foto diantara lembar kertas itu. Foto yang kutebak berukuran 3:4 menampilkan seorang pria gagah dengan pakaian rapi ala orang dulu. Kulitnya sawo matang dan kumisnya tipis. Siapa sangka orang keren itu adalah kakek ku. Lalu disebelahnya ada seorang wanita belanda bersurai ikal. Riasannya tipis, tangan lentiknya memegangi payung yang tidak dikembangkan. Senyumnya sangat sesuai dengan baju terusan tanpa lengan yang ia kenakan. Wanita cantik ini adalah nenekku.

Dibelakang Fotonya terdapat tulisan yang telah memudar. Tertulis disana (Deta dan Brenda, 23 Oktober’58). Aku rasa itu waktu dan tempat dimana Foto itu diambil. Mereka berdua tampak serasi meski berbeda ras.

Akan tetapi, ketika aku ingin menyusun kembali suratnya, aku baru menyadari jika dibagian paling bawah terdapat sebuah buku dengan sampul keras dan berwarna hitam. Tampilannya seperti buku diary vintage karena kertasnya berwarna kuning. Buku ini ternyata memang sebuah diary karena halaman pertamanya bertuliskan nama kakek juga nama seorang wanita yang tak kukenali. “Deta Mashuf bersama Dona Hendiadijaya, 18 Oktober 1949. “

Sungguh perasaan penasaran ini tak dapat kutahan, langsung saja aku membaca halaman pertama buku itu. Wanita itu – Dona , menjadi awal dari tulisan kakek. Tulisan yang ditulis dengan bahasa orang dulu memang sedikit sulit dimengerti, namun aku bisa paham cara membacanya. Kira-kira begini isinya.

19 Februari 1949 , Bandung.

Dona. Namanya manis seperti orangnya. Huruf depan namanya sama seperti huruf depan namaku. Perempuan yang membuatku merasakan perasaan aneh saat pertama kali melihatnya. Dona. Aku bertemu dengannya dialun-alun kota. Saat itu ia tengah kebingungan dengan membawa banyak barang. Aku rasa ia sedang mencari pertolongan, namun tak tahu harus apa. Aku yang kikuk ini pun untungnya memilih memilih membantu sambil bercengkrama menanyakan nama dan tempat tinggalnya. Ternyata Dona namanya. Manis seperti orangnya.

Tawaku keluar begitu saja bersamaan dengan air mata haru. Entah kenapa, ketika aku membaca diary ini rasanya seperti bisa mengenal kakek lebih jauh. Halaman- demi halaman kubaca dengan serius. Sejauh ini isinya tentang perasaan kakek terhadap Dona yang sedang kasmaran, galau, sedih dan bahagia. Aku mengetahui banyak fakta baru tentang Dona, cinta pertama kakek. Beliau seorang perempuan sederhana asli Surabaya yang pindah ke Bandung. Umurnya beberapa tahun lebih muda dari kakek saat itu. Benda favorit Dona adalah sepeda ontel. Beliau bisa berbahasa belanda karena bekerja sebagai pembantu dirumah keluarga orang-orang belanda dulu.

Awalnya aku merasa biasa-biasa saja ketika membaca semua tulisan itu. Namun tidak pada halaman berikutnya. Pada tulisan itu, kakek bercerita bagaimana ia melamarnya setelah pulang dari misi. Kakek dan Dona menikah pda tahun 1952 dan memiliki anak satu orang.

Jantungku berpacu cepat dan darahku mendesir panas ketika membacanya. Aku tidak menyangka jika kakek pernah menikah sebelum bertemu nenek. Tahun 1954 kakek dipindah tugskan ke Batavia. Dan beliau meninggalkan Dona beserta anaknya yang masih kecil. Setelah kepergian kakek ke Batavia, kakek tak pernah kembali ke Bandung hingga akhir hayatnya.

Dilembaran terakhir ia menuliskan semua penyesalannya karena telah meninggalksan Dona. Ia pergi namun tidak lupa. Dona selalu punya tempat dihati kakek. Aku  bisa merasakan ketulusan tersebut, karena melihat bekas tetesan air yang kuyakini air mata, mengenai goresan tinta dibuku itu. Sedih rasanya membayangkan diriku berada diposisi Dona. Ditinggal suami tercinta menjalankan tugas dan tak pernah kembali.

Apa yang akan Dona lakukan, jika ia tahu suaminya ternyata tidak meninggal ataupun menghilang dalam misi, akan tetapi malah mempunyai istri baru yang pada akhirnya mereka telah beranak dan bercucu? Apa Dona akan marah dan mengutuki kakek? Atau ia hanya akan bersedih kecewa?

Aku yakin jika ayah ataupun nenek tidak tahu tentang ini. Bisa saja kakek sengaja merahasiakannya. Membayangkannya saja membuat bahuku terasa berat. Seperti menahan beban rasa bersalah akan ketidak tahuan mereka. Setelah mengetahui hal ini, selanjutnya, apa yang harus aku lakukan?