Si Tulus yang Malang
Karya Indah Ramadani
Klakson mobil dan motor menjadi bising yang biasa di jalanan kota tatkala sore hari. Asap motor dan mobil menggumpal ditengah jingganya langit. Semua orang mendesak untuk keluar dari kemacetan kota. Lampu-lampu jalan yang sudah mulai hidup sebagai pertanda terangnya siang digantikan oleh gelapnya malam. Semuanya telah bersahabat menjadikan hal-hal rusuh demikian adalah hal yang biasa. “Permisi, permisiii, awass, permisi bu, maaf bu, permisi pak” ujar seorang perempuan yang tergesa-gesa menuju gerbong kereta diantara ramainya sore.
Ketika sampai di kereta, perempuan itu langsung duduk mengambil botol minum yang hampir habis isinya. Namanya Ana, seorang fresh graduate yang lagi gencar-gencarnya mencari pengalaman pekerjaan. Dering ponsel memecahkan suasana, dari layar ponselnya nampak pesan dari seseorang. “Ayo makan malam bersama di tempat biasa, aku menunggumu!” Ana tersenyum tipis sebuah pesan singkat dari seseorang yang sampai sekarang masih menjadi teman.
Tak terasa stasiun demi stasiun telah terlewati, langit yang tadinya memamerkan jingganya yang indah seketika lenyap, digantikan oleh gelapnya malam yang ditemani bulan tanpa bintang. Ana berjalan di tengah trotoar jalanan yang tak seramai tadi sore. Dia berjalan dengan pikiran yang kalut, bingung tak tau lagi mau mengapa, seperti lari tak ada tujuan, sesekali hilang arah. Di ujung jalan ada seorang lelaki yang melambaikan tangan kepadanya. Yaa… namanya Zidan, seseorang yang selalu ada ketika Ana lagi bermasalah dengan temannya, tidak nyaman dirumah, semunaya Zidan tampung, menemani Ana hingga merasakan sedikit lega.
“Hai, dah lama nungguin?” ujar Ana “Ngga kok, gimana harinya?” balas Zidan sambil berjalan. “Ngga ada yang menarik, Cia juga makin syirik” pasrah Ana sambil memasukkan tangannya kedalam saku. Mereka duduk dikursi yang biasa mereka tempati, memesan makanan seperti biasa. Ana dengan nasi putih dan ayam dilengkapkan dengan es teh manis. Zidan dengan nasi daging dan es teh manis.
“Kalau menurut Dan, orang kea Cia ngga usah didengerin Na… Orang kea gitu ngga usah diladenin” Zidan membuka pembicaraan. “Habisnya aku ngga ngapa-ngapain dia udah liatin kea mau ngajak kelahi aja, jujur Dan aku udah capek kerja disana, lingkungannya ngga baik” Ana tampak sangat lelah menceritakan smeuanya “Hahahaha Na kamu ngga berubah ya, kepikiran selalu nomor satu”.
Ditengah ketawanya Zidan makanan mereka sudah datang, nasi daging dan ayam dilengkapi dua gelas es teh manis siap disantap. Mereka menikamati semuanya dengan lahap. “Gimana kalau kamu buka resto juga Na? disamping nulis kamu kan juga pintar masak” ujar Zidan sebelum menyeruput es tehnya. Ana langsung tersentak, dia seakan tersentrum disadarkan ide yang memungkinkan. “Iya juga yaa, kenapa aku ngga kepikiran dari dulu ya Dan, Ngga mau tau Kamu harus Bantuin aku yaaa!” ujar Ana penuh semangat.
Hari demi hari Ana resign dari tempat kerjanya yang lama, dan sudah menemukan kontrakan kecil yang kiranya cukup untuk tempat makan. Dan tidak lupa ia menuliskan semua kisah yang ia lalui hari demi hari dibukunya. Zidan membantu semuanya, mulai dari design interior yang bagus, hingga promosi resto yang baru Launching itu. Zidan sangat gigih, mempromosikan Resto itu, demi pelanggan yang akan datang nantinya. Mereka melewati hari demi hari bersama, menghadapi rintangan-rintangan juga bersama. Zidan selalu bersama Ana, menemani Ana, mendengarkan keluh kesah Ana.
Hari demi hari berganti, Resto yang awalnya sepi menjadi ramai. Tentu saja itu semua tidak luput dari kepandaian Ana dalam memasak dan ide cemerlang dari Zidan. Resto itu sekarang mempunyai banyak karyawan, bahkan para pelanggan harus membooking sebelum pergi ke resto tersebut. Semuanya berjalan begitu indah dan cepat hingga suatu kejadian yang tak pernah disangka terjadi.
Zidan tidak ada kabar selama 5 hari belakangan ini, dia tidak pernah lagi ke resto, mengirim pesan untuk Ana dan hal lain yang biasa dia lakukan untuk Ana. Ana mencari Zidan kemana-mana, mencarinya ke rumah kontrakannya. Tetapi rumah itu kosong seolah tidak ada penghuni disana. Ana tidak menyerah, dia mencari pemilik kontrakan dan menanyakan dimana keberadaan Zidan. “Bapak tau kemana Zidan pergi pak? Sejak kapan ya pak?” lirih perempuan dengan raut wajah penuh kecemasan yang tak bisa disembunyikan lagi. “Zidannya pergi sekitar 5 hari yang lalu nak, bapak juga terkejut mengapa semendadak ini, Zidan juga tidak menjelaskan kenapa dia pergi dan mau kemana, dia hanya bilang terima kasih dan ucapan perpisahan yang hangat kepada bapak nak” mendengar perkataan si bapak, Ana langsung terenyuh, tak tau arah, sosok yang selalu menemaninya disaat susah telah pergi entah kemana.
Ana bingung tak tau mau kemana lagi, semua usaha sudah dilakukannya, bahkan hari ini genap satu minggu Ana mencari zidan yang hilang, tanpa pamit, tanpa meninggalkan satu pun yang tersisa kecuali kenangan yang menyiksa. Ana hilang arah. Dia hanya pasrah kepada Yang Maha Kuasa, dia sudah melakukan semua cara yang dia bisa, menghubungi teman-teman Zidan, menanyakan kepada dosen Zidan waktu dikampus dulu, tetapi semuanya nihil.
Malam itu Ana membuka lembaran bukunya dia tak sanggup menuliskan hari-hari yang dilaluinya tanpa Zidan, terasa hampa. Zidan benar-benar pergi, bahkan di saat resto yang mereka rancang dari dulu akan membuka banyak cabang. Bahkan perasaan yang selama ini tersimpan tak pernah terucapkan. Ana pasrah, dia berusaha untuk mengikhlaskan semuanya kepada Tuhan, walaupun ini terlihat naif, padahal dia tau hal ini sangat sukar untuk dilakukan.
“Untuk sesorang yang tak mungkin datang lagi…
Bagaimana mungkin aku boleh merindukanmu, sedangkan kau sudah kutitipkan kepada Allah pemilik semua rasa.
Kini biarlah, berlalu bagai air mengalir, mungkin memang tidak takdir.
Bagaimana mungkin aku masih mengharapkanmu yang telah jauh? Padahal, telahku titipkan engkau pada Allah yang menguasai segala sesuatu.
Sungguh, do’aku untukmu tetap tak terputus, meski permintaan itu kini tidak untuk bersama lagi, namun tentang kebahagiaan yang akan engkau dapati, seseorang yang akan memenangkanmu, meski aku tau itu bukan aku.”
Begitulah yang Ana tulis malam itu. Entah kenapa semuanya mengalir begitu saja, bahkan setetes air dari matanya telah membasahi buku itu. Sekarang dia mencoba berdamai dengan keadaan. Buku itu dia simpan dengan rapi, mungkin sesekali akan dibaca lagi, walaupun nanti mengiris hati. Mungkin buku itu menjadi saksi bisu betapa tulus perasaan Ana kepada Zidan yang menemaninya dari awal resign hingga restonya mempunyai banyak cabang. Betapa banyak Zidan berujar dalam larik-larik puisinya yang dia tulis setiap malam. Namun sayang, Zidan tidak pernah tau Ana sebegitu tulus kepadanya, entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan perasaanya, atau mereka yang terlalu bodoh untuk saling mengungkapkannya.
woooowwww… beda ya kalo yg nulis orang bahasa, Joss!! sad ending ini biasanya tidak disukai cewek-cewek lho pak Harse..hehehe