“Ketika aku tau bahwa ayahku bukanlah seorang penjahat…”
…
Namaku Silfia, begitulah nama pemberian dari ayahku. Begitu aku lahir, ibuku berkata aku menjadi pusat perhatian orang banyak. Banyak yang ingin menggendong dan menimangku. Serta banyak juga ibu-ibu yang hamil ingin anaknya sepertiku. Bisa di bilang aku ini anak pembawa keberuntungan. Tak jarang mereka bilang masa depanku akan cerah, secerah cahaya mentari.
Saat aku berusia lima tahun, ibuku melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Bayi mungil itu diberi nama Alba. Nama itu diberikan oleh Ayah karena kulitnya sangat putih, bahkan lebih putih dari kulit Ibu. Matanya yang coklat membuat adik kecil ku itu lebih mirip boneka. Warna mata itu mirip mata Ayah. Berbeda denganku yang dianugerahi kulit kuning langsat dari ayah dan mata hitam legam seperti ibu.
Kehidupan kami sangat harmonis. Ayah memiliki pekerjaan sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama di ibukota. Ibuku seorang guru SD, belum PNS hanya tenaga honorer saja. Karena tidak ada yang menjaga adikku, akhirnya ibu mengundurkan diri dari pekerjaannnya. Bagi ayah hal itu bukan masalah, ibu dapat lebih fokus menjaga Alba serta mengurus aku dan Ayah. Sehingga waktu ibu lebih banyak bersama keluarga.
Hari demi hari aku habiskan hingga kini aku berumur tiga belas tahun. Aku tau roda kehidupan akan terus berputar. Perusahaan tempat ayah bekerja mengalami bangkrut akibat Covid-19 yang melanda, banyak karyawan diberhentikan, termasuk ayah. Ayah sempat down, tapi untunglah ibu menghibur Ayah. Ayah mencoba bangkit lagi dengan mencari pekerjaan disana sini. Tapi karena wabah ini, tak satupun yang membuka lowongan pekerjaan yang cocok dengan spesifikasi ayah.
Mengingat masa yang sulit itu, akhirnya ayah dan ibu memutuskan untuk pulang kampung saja. Rumah yang semula dihadiahkan untukku dijual untuk biaya pulang kampung, dan modal usaha di kampung.
Kami pun pindah sekeluarga ke kampung ibuku. Setibanya disana kami disambut oleh Paman, adik satu-satunya ibuku. Beliau memberikan kunci rumah nenek untuk kami tempati. Biasanya rumah itu dikontrakan paman ke orang lain, namun mendengar kabar ibu akan menetap di kampung maka rumah itu segera dikosongkan1.
Ayah dan ibu sangat bersyukur karena tidak perlu repot untuk mencari rumah. Sehingga uang pesangon dan hasil penjualan rumah tidak berkurang. Tapi tidak denganku, hatiku nelangsa karena rumah itu tidak seindah rumah yang ayah jual. Rumah itu kecil, pengap dan bau.
“Sabar, ya, Sil. Nanti kalau ayah sudah punya uang ayah akan belikan rumah yang bagus lagi,” ayah selalu mengatakan itu padaku di setiap malam. Ayah tau bahwa aku selalu menangis setiap pulang sekolah serta selalu ingin pindah rumah secepatnya. Dan mungkin, beliau sadar aku tidak ingin menjadi keluarga yang miskin. Aku sadar aku egois karena tak mengerti kesulitan Ayah.
Ayah bilang, “Ayah tau kamu nggak suka hidup seperti ini. Tapi percaya sama ayah. Kita tidak akan selalu berada di bawah. Semua orang berhak bahagia. Semua orang juga pernah kesusahan. Tapi, untuk sekarang, Allah mau nguji kita dulu. Nanti kalau ujiannya sudah selesai, pasti Allah bakal balikin rumah kakak lagi.”
Aku menatap ayah dengan iba, berusaha untuk selalu menerima ucapan ayah. Ayah selalu menyemangatiku dengan kata-katanya. Walau tak mudah, tapi aku melihat dengan pasti ayah dan ibu selalu berusaha. Dengan sisa uang yang ada, Ibu berjualan kecil-kecilan di depan rumah. Tidak banyak yang dihasilkan ibu, tapi lumayan dapat membantu ayah yang kerjanya masih serabutan.
Hampir enam bulan di kampung, aku melihat ayah semakin sering murung. Ternyata kehidupan di kampung membuat ayah tidak betah juga. Ayah yang biasa bekerja pakai dasi masih riskan untuk melakukan pekerjaan kasar. Puncaknya, tadi malam aku mendengar ayah berbicara ke Ibu, beliau ingin mencari kerja keluar kota. Awalnya ibu tidak rela, bagi ibu tidak masalah hidup susah asalkan tidak terpisah. Tapi ayah tetap kekeuh untuk pergi, karena aku dan adikku butuh biaya banyak untuk sekolah. Jika terus dikampung ayah tidak akan sanggup untuk menyekolahkanku tinggi-tinggi seperti apa yang aku cita-citakan. Lama ibu terdiam, akhirnya ibu mengalah dan mengizinkan ayah untuk pergi walau samar kulihat disudut mata ibu kulihat ada tetes air mata yang mengalir.
Sebenarnya aku tidak siap jika ayah tak berada di rumah mengingat aku masih kelas satu SMP. Aku sangat manja dengan ayah, namun keadaan memaksa kami untuk berpisah sementara waktu. Akhirnya ayah pergi meninggalkan aku, ibu dan juga adik perempuanku.
Tidak banyak komunikasi yang aku lakukan dengan ayah. Aku sibuk dengan sekolahku dan ayah juga jarang menelpon ke rumah. Beberapa kali aku mengirim pesan padanya, tapi tidak kunjung ada balasan. Satu, dua kali, hingga belasan kali balasan tak kunjung datang. Aku mulai muak dengan sikap ayah. Aku sering bertanya pada ibu bagaimana keadaan ayah, tapi nihil, Ibu pun tidak tau. Ketika adikku bertanya tentang ayah, Ibu pasti akan selalu menjawab. “Ayah selalu pulang malam waktu kamu sudah tidur dan pergi kerja pagi-pagi buta waktu kamu masih belum bangun.” Aku hanya bisa menghela napas panjang mendengar ibu berbohong tentang ayah ke adikku.
Adikku yang masih kelas 2 SD, masih belum tau apa-apa tentang itu selalu mengiyakan tanpa tau kebenarannya. Ibu selalu memberikan boneka Barbie kesukaannya dan berkata itu dari ayah. Alba menerima dan percaya kalau ayahnya memang sibuk, seperti yang dikatakan oleh ibunya.
Sudah hampir empat tahun ayah pergi merantau, kami masih belum tau bagaimana kabar ayah diluar sana. Kata temanku, mungkin ayahku menikah lagi. Makanya dia kunjung pulang dan pergi mengasingkan diri. Kedua, mungkin ayahku meninggal dunia tanpa sepengetahuan kami. Begitulah kemungkinan terburuk yang mereka punya.
“Ayah kamu masih belum pulang, ya?” Beberapa temanku masih bertanya. Indah, gadis yang dulunya menjadi musuhku kini menjadi sahabat tempatku bercerita.
“Belum,” singkat, padat dan jelas. Jawaban yang sama setiap mereka bertanya tentang kepulangan ayahku. Aku baru tau, kalau mereka yang bersekolah disini tidak sebaik yang aku kira.
“Anak yatim kali.”
“Anak buangan mungkin.”
“Gatau sih, mungkin aja bapaknya nikah lagi.”
“Wah, parah sih!”
“Iya, sih. Masa gatau sih keberadaan bapaknya? Atau jangan-jangan, dia anak haram?”
Aku selalu menutup telinga ketika mereka mulai membicarakanku. Aku benci di posisi ini. Aku benci ketika mereka sok tau dengan kehidupanku. Aku benci ketika mereka selalu ingin menjatuhkan diriku. Terutama…aku benci dengan ayahku.
Lelah, itu kata terakhir yang kusematkan dihatiku saat usahaku tak membuahkan hasil. Sampai hari ini keberadaan Ayah belum dapat kuketahui. Beliau seperti hilang ditelan bumi. Ibu juga sudah mulai sakit-sakitan. Pinggangnya sering sakit beberapa bulan ini. Kehidupan kami kini ditanggung oleh pamanku. Ibu benar-benar tidak memiliki uang sama sekali. Aku bersyukur masih memiliki paman yang peduli padaku. Ayah sungguh tega meninggalkan kami. Ayah penjahat!. Aku benci ayah.
Aku selalu menangis dan berdoa kepada Tuhan. Berharap sekali lagi ayah akan membalas pesanku, atau paling tidak menelpon kami sekali saja. Walaupun aku benci, tapi dari lubuk hatiku yang paling dalam aku masih menginginkan ayah untuk pulang. Aku rindu ayah, rindu akan belaian ayah. Sama seperti ibu, yang selalu setia menunggu ayah. Andaikan Ayah menelpon setidaknya hatiku sedikit tenang. Tidak akan diluputi rasa benci sebenci ini, atau cemas ayah telah berpulang seperti yang diceritakan oleh temanku.
Hubungi aku ayah! Sekali saja, hanya sekali saja.
“Kenapa ayah sejahat itu padaku? Kenapa ayah tidak pernah memberiku kabar? Apa ayah sudah melupakan ibu dan punya istri kaya dan anak baru, sehingga dia lupa dengan kami di sini? Kalaupun iya ayah sudah menikah lagi, kenapa tidak pulang untuk menemui ibu? Hah?!, Ayah pengkhianat” Aku menangis sejadi-jadinya.
Adikku, Alba kini sudah berumur dua belas tahun, ia telah cukup mengerti dengan apa yang sudah terjadi. Dirinya telah didewasakan oleh peristiwa yang tidak menyenangkan. Namun Alba cukup sabar. Dia bahkan sering menghiburku. Mengajakku bermain keluar dan sesekali bermain air ke sungai di belakang rumah. Hingga aku tidak sadar kalau aku mempunyai masalah sebanyak itu.
Tepat tanggal 10 Mei, aku akan berulang tahun tepat ke tujuh belas tahun. Ibu membuatkanku kue black forest. Sedang Alba pasti yang paling sibuk untuk mendekorasi rumah. Aku terharu. Mereka peduli padaku.
“Selamat ulang tahun kak Silfia! Semoga di tahun yang sekarang kakak jadi orang yang lebih baik lagi, cantik, kuat. Nanti biar bisa jagain Alba sama ibu,” begitu kata Alba padaku.
“Kakak, jangan sedih-sedih lagi, ya. Tunggu aja kabar dari ayah. Ibu tau ayah pasti punya alasan untuk itu, ayah bakalan pulang ke rumah. Percaya sama ibu.” kata Ibu menguatkan ku.
“Ngak papa, lagian Silfia udah kuat kok, bu,” kataku berusaha kuat, padahal suaraku bergetar dan air mataku sudah berlinang.
Walaupun ulang tahun ini hanya kecil-kecilan, tapi aku merasa ini adalah ulang tahun yang paling berkesan di hidupku. Ibu dan Alba serta aku berfoto bersama. Masih tersirat keinginan ingin ayah datang dan tiba-tiba bergabung dengan kami di pertengahan acara. Tapi aku tau itu mustahil terjadi.
Kemudian ketukan pintu rumah menginterupsi kami bertiga. Ibu membukakan pintu. Seorang pria dewasa yang tinggi gagah berdiri sambil berbasa-basi dengan ibu. Selang beberapa menit kemudian, pria itu memberikan psurat yang masih tersegel kuat ke tangan ibu. Aku menguping di belakang. Ibu membacanya dan menangis tersedu-sedu. Aku panik ketika melihat ibu yang hampir pingsan. Tak lama kemuadian, paman datang sembari membawa ibu ke kamar diikuti oleh Alba. Aku meraih pesan itu. membacanya dengan seksama.
Untuk ibu, Alba dan kak Silfia kesayangan ayah…
Maaf ayah baru bisa membuat surat pada kalian semua. Ayah tau sudah lama ayah tidak kembali ke rumah. Ayah tau pasti kalian tersiksa dengan kehidupan seperti itu, sedangkan ayah disini sudah memiliki kehidupan yang baik dibanding sebelumnya. Ayah tau ayah harus kembali secepatnya. Tapi ayah sudah bertekad untuk tidak bertemu kalian sebelum ayah sukses.
Untuk ibu, terimakasih sudah berjuang untuk Alba dan Silfia. Ayah tau ibu sedang sakit sekarang. Ayah tau penderitaan ibu. Ayah sudah mencari tempat pengobatan terbaik untuk ibu.
Untuk Alba, anak bungsu ayah, ayah juga ingin minta maaf. Ayah sudah meninggalkanmu ketika kamu butuh kasih sayang seorang ayah. Maafkan ayah, Alba.
Dan untuk kesayangan ayah, Silfia, maaf ayah tidak bisa membuat kue donat dengan toping coklat dan motif kelinci diatasnya serta kue black forest kesukaananmu lagi. Maafkan ayah juga tidak pernah membelikanmu majalah bobo lagi. Ayah minta maaf. Ayah bersalah pada kalian semua.
Sebagai gantinya, ayah sudah membelikan kalian rumah yang baru. Sesuai janji ayah waktu itu pada Silfia, ayah membelikanmu rumah. Ayah sudah menjamin uang sekolah kalian hingga kalian kuliah. Semuanya, bahkan Alba dan juga pengobatan ibu.
Untuk semuanya, ayah mungkin tidak akan kembali. Ayah mungkin tidak akan menulis lagi. Mungkin ayah tidak akan membaca pesan mu lagi. Dan ayah mungkin tidak akan pernah lagi melihat kalian selama-lamanya. Ayah nampaknya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Jadilah anak yang membanggakan. Jaga ibu dan Alba.
Ayah mencintai kalian semua.
Aku menangis. Aku bertanya pada pria dewasa itu dimana keberadaan ayah saat ini sambil memberontak. Bahkan aku tidak sadar bahwa aku sudah menjatuhkan kue ulang tahunku sendiri.
”Maaf, bapak Dito sudah meninggal dunia.”
Aku jatuh terduduk, sia-sia sudah impianku untuk bertemu ayah. Apa yang kutakutkan terjadi, ternyata ayah telah pergi meninggalkan kami selama-lamanya. Sama denganku Ibu juga tak kalah sedihnya. Hanya Alba yang kuat karena dari bayi Alba tidak tahu betapa hangatnya belaian ayah. Alya cuma tahu ayah dari fotonya, itu yang membuat Alya lebih tegar dariku.
Sekarang aku tau, tidak ada gunanya mendengar ucapan orang lain. Ayahku tetaplah ayahku. Hatiku lega, Ayah tidak berkhianat pada ibu dan ayah bukan penjahat. Disitulah aku sadar bahwa ternyata aku lah yang membuat ayah berbuat seperti itu. Jika aku tak mengeluh dan merengek-rengek karena tak tahan hidup susah mungkin ayah tidak meninggalkan kami.
Satu yang aku sesalkan, ayah ternyata tak mengerti bahwa kami lebih suka hidup menderita asalkan ayah ada disisi kami. Tahukah ayah, setiap malam ibu menangis merindukan ayah. Sadarkah ayah, kalau Alba selalu sedih melihat kawannya dijemput oleh ayah mereka sepulang sekolah. Dan tahukah ayah kalau aku selalu cemas dan berburuk sangka tentang ayah.
Sesuai dengan wasiat ayah, sekarang kami sudah pindah ke rumah baru. Ibu perlahan mulai sembuh dan berobat kerumah sakit yang direkomendasikan oleh ayah. Uang peninggalan ayah juga mampu menyekolahkan aku dan adikku. Sekarang kami berkecukupan, tapi sayang tiada ayah disampingku. Beliau rela mengganti nyawanya dengan kebahagiaan kami. Dan saat itulah aku sadar bahwa kasih sayang ayah sama dengan kasih sayang ibu. Besarnya sama tapi disampaikan dengan cara yang berbeda. Jika kalian bertanya siapa malaikat tak bersayap di dalam hidupku, maka jawabannya adalah ayah.
KOMENTAR