Mr. Crab
karya Annie Suryatin, S.Pd
Brum… brumm… it’s already 5 pm when i saw my watch right before i park my matic bike in this simply house yard. This house looks like an old building that builded 30 or 40 years ago, or even more. The counture of this neighborhood which is hills, made this house is lower than the road that connect one village to the others. This village is located in remote area in remote regency of West Sumatera. The west coast of the Andalas Island.
“aunty…. aunty…” children’s voices hear aloud as they welcoming my appearence from the living room. As the front door opened, they run after me to the terrace.
“Assalaamualaikum…. aunty is here……” they soon kiss my hand as soon as i reach out for their little hands. Yae, its called Salim, the Indonesian culture where the youngers kiss the hand of the olders to show the respectfullness to the olders.
“Aunty… what did you bring for us?” Karim my sister’s older son asked me.
“Karim, just let aunty have sit first, she’s just arrived from a long trip. We open the bags leter” my sister’s oldest daughter remind her little brother to be patient.
The oldest daughter, Sarah, always be a manager to her brothers. With her comunicative character and good leadership, made her self can always be count on to whenever my sister being so hectic with three active children at home.
“yes my dear, let me have a sit first okey. We’ll open the bag leter” I told him while having sit on the rug in front of the television in the living room. And soon after, my sister came from the kitchen.
“ooowww, here you are aunty, how are you” my sister asking me while giving her hand to me so i can do the Salim and then kissing the left and right cheeks of each other.
“Alhamdulillaah I’m good. I hope you too” i replied.
“Alhamdulillah I’m good also, but lately i have my asthma every day since the weather is not so good”
“yeah, the weather is not really good lately”
“have you had meal yet? i’ ll get you a cup of warm tea to fresh you up” she said.
“yeah i already had meal in Bukittinggi when i filled up the gas for my bike” i answered.
“oh really? Where was it?”
“at the Ampera near the entrance gate of Bukittinggi city. A little Ampera without name sign, but viewing there were lot of people came by, it seems delicious so i decided to having meal there” i explained her.
A moment after, my sister came and brought a cup of warm tea and also a plate of fried cassava, my favourite.
It was yesterday when Karim’s father took the Ubi Togak from the side yard, plenty of its, so we also gave these to neighbours here. And we also had the cassava chips also, kiddoes like it most of course.
“yes aunty, I helped father making the Kripik, and also Kak Sarah” Karim said.
“oh really? Good boy. And you also, good girl kakak Sarah” i replied.
“Oa…Oa …Oa too aunty” finally the youngest one voice is out. He is not even 2 years old yet, with bright skin and slit-eyed make he looks like Korean oppa. is it because his mother was so crazy about Korean drama when she was pragnant? Hahaha.. I dont know, but one thing for sure, his grandmother from his father, which is my brother in law, also has white skin and slit-eyed. No wonder right?
“Oh really? What a good boy. That’s my boy..”
“Oa only helping by holding the spatula aunty.” His sister said and we laughed together.
While emptying the present for my nephews from the bag, we talked and laughed each other and this moment become great healing of the rutine hectic’s activities.
“aunty…” Karim called me.
“what’s up Yim?” Yim is my special nick name from Karim.
“wiil you marry the person you love?” he asked me with serious face and serious tone.
Just for a while, i was freezing. My brain just can’t respond the question immediately. My mouth locked. Soon after, i laughed.
“hahahaha… where did you learn that question? How could you asked me that question?” instead of answering his question, I asked him back.
“I heard from Mr.Crab” he answered me.
“did he say that?”
“yes he did. He asked his daughter, the shark”
“oh really?”
“yes he did. And what about you? Will you marry the one that you love?”
“yes of course. I will marry the person i love and love me back, insyaAllaah”
“When? Tomorrow?”
“No, not now. I will let you know when i will get married”
“And i will be the the little bride” Sarah said.
“Me also, I will be the little groom” Karim said.
“Me also aunty” finally the youngest one let his voice out.
Now it was time to sleep. They finally felt asleep. As usual, everytime i came here, we always sleep together in one room with big size bed. Because of the weather here is chill enough, so by sleeping together gave us a good warm sleep.
I staring at the innocent faces that were laying beside me. So calm, peacefully, with no burden on their faces.
My eyes haven’t closed yet even my body was really tired. I remember with karim’s question this afternoon. Will i marry the one that i love? Do the person taht will marry me, really do love me? There are lot of married couples in this world that do not love each other, aren’t they? There are a lot of people who love each oher but cannot be marry, aren’t they? Ah, i don’t even want to continue thinking about it. Kind of complicated thinking about something that has not even happened yet.
But one think for sure, sorrounded by family, friends, poeple who love us, are great things that we have to gratefull for. And it is not necessary to think about anything that haven’t happened yet. In this life, sometimes we have to let things we love go, don’t we? Yet we also have to hold on things that we don’t like and uncomfortable? Right? Yeah, it’s life anyway.
“Life is a balance between holding on and letting go” – Rumi –
Tuan Crab
Brum… bruumm… sekilas kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 5 sore, lalu kemudian kuparkirkan motor maticku di halaman rumah sederhana ini. Rumah bangunan lama, yang dibangun mungkin sekitar 30 atau 40 tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Kontur tanah kawasan sekitar rumah ini yang merupakan perbukitan, membuat rumah ini jauh berada di bawah jalan aspal kecil yang menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya di kecamatan ini. Sebuah kecamatan yang terdapat di kabupaten yang terbilang agak jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan ibukota provinsi. Provinsi yang terdapat di bagian paling barat di pulau Andalas ini.
“Aunty… aunty….” suara anak-anak yang terdengar menyambut kedatangannku dari ruang tamu saling sahut bersahut. Dan pintu depan pun terbuka lalu kemudian anak-anak berlarian keluar teras terus menuju ke arahku.
“assalamualaikum… aunty sudah sampaaaaiiii…” segera kuraih tangan-tangan kecil mereka yang segera mencium tanganku. Ya, Salim, kebiasaan menjabat dan mencium tangan orang yang lebih tua, apakah orangtua, guru, keluarga, adalah budaya kita di Indonesia yang masih sering kita jumpai sampai saat ini.
“aunty.. aunty bawa apa?” tanya si Karim, anak kedua dari kakakku.
“Karim, biar aunty duduk dulu, aunty baru sampai, nanti baru kita buka tas oleh-olehnya”
sahut si Sulung mengingatkan adiknya.
Si Sulung, Sarah, biasa menjadi “manager” yang memberikan komando untuk adik-adiknya. Karakternya yang komunikatif dengan kemampuan leadershipnya, menjadikan dirinya yang bisa diandalkan Bundanya sedikit kerepotan dengan tiga orang bocil- bocil lincah di rumah.
“iya nak, aunty duduk dulu ya, nanti baru kita buka tasnya” sambungku sambil duduk di karpet di depan tivi yang ada di ruang tengah rumah ini. Tak lama dari arah dapur, datanglah kakakku.
“eh, aunty dah datang, sehat nty?” tanya kakakku seraya memberikan tangannya padaku dan langsung ku-salim dan saling mencium pipi kiri dan kanan.
“alhamdulillaah teh, teh sehat?” tanyaku.
“alhamdulillaah, paling biasalah astma masih sering kambuh tiap hari, apalagi sekarang cuaca lagi ga bagus”
“iya teh, cuaca memang lagi ga bagus akhir-akhir ini”..
“aunty mau minum teh hanget biar enak badannya, aunty kan sudah menempuh perjalanan jauh, tadi di jalan sempet makan?” tanya kakakku kembali.
“tadi sempet berhenti sebentar di Bukittinggi teh, sekalian isi bensin”
“makan nasi? Dimana?”
“iya, di ampera dekat batas kota sebelum masuk kota Bukittinggi. Ampera kecil, ga ada mereknya, tapi lumayan rame, kayaknya enak, jadinya mampir” jelasku pada kakakku.
Sebentar kemudian kakakku kembali dari dapur sambil membawakan segelas teh hangat dan sepiring singkong goreng.
“ini kemarin Ayah anak-anak bongkar ubi togak di kebun samping rumah, lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga sebagian, ini yang untuk di rumah, ada yang digoreng ada yang dibikin keripik. Anak-anak suka”
“iya aunty karim ikut bantu membuat kripik nya sama Ayah, kakak juga” sambung si Karim.
“oiya, pinter abang Karim, kakak Sarah juga ya” jawabku..
“Oa… Oa… Oa juga..” akhirnya si bungsu Toha mengeluarkan suaranya. Usianya belum genap 2 tahun, dengan kulit putih dan mata sipitnya membuatnya terlihat seperti orang Korea. Apakah karena sang Bunda yang hobi menonton drama Korea saat masa kehamilan menjadi faktor yang mempengaruhinya? Haha… entahlah, namun yang pasti Ibunda dari Ayahnya yaitu Ibu mertua kakakku, juga memiliki kulit putih dan mata yang sipit.
“oiya, pinternya ponakan aunty”
“Oa bantu pegang-pegang spatula aja nty” Kakaknya menimpali sambil tertawa-tawa kecil dan kamipun semua tertawa bersama.
Sambil mengeluarkan tas isi oleh-oleh untuk keponakan-keponakanku, kami saling bercengkerama, yang sesekali diiringi derai tawa bacil-bocil lucu yang menjadi penyejuk hati dan kepala sejenak dari kepenatan rutinitas.
“aunty…” panggil Karim.
“kenapa Yim?” sahutku dengan panggilan Yim yang merupakan panggilan kesayangan untuk dirinya.
“Apakah anty akan menikahi orang yang aunty cintai?” tanyanya dengan nada serius juga dengan wajah yang serius.
Sejenak, aku seperti membeku, otakku tak dapat merespon pertanyaan Karim dengan segera. Mulutku bagai terkunci untuk menjawabnya.
Dan kemudian tawaku pecah…..
“hahahaha… dari mana Yim belajar pertanyaan itu? Kok bisa Yim menanyakan pertanyaan itu?” justru diriku menimpali pertanyaan Yim dengan pertanyaan.
”yim dengar dari tuan Crab” jawabnya dengan polos
“tuan Crab ngomong kayak gitu?”
“iya, dia nanya anaknya yang si Hiu itu nty” tambahnya lagi.
“oh gitu ya” jawabku singkat
“iya nty, Kalau aunty begitu juga? Apakah aunty akan menikah dengan orang yang aunty cintai?” tanyanya berulang kembali.
“iya Yim, insyaaAllaah.. aunty akan menikah dengan orang yang aunty cintai dan juga mencintai aunty, aaminn.”
“kapan nty? Besok?” tanyanya lagi
“enggak Yim, masih lama, nanti aunty kasih tau Yim kalo aunty mau menikah”
“nanti kakak jadi pengantin kecilnya ya aunty” kakak Sarah kembali menimpali.
“Yim juga nty, Yim jadi pengantin kecil yang laki-lakinya”
“oa juga…” kali ini si bungsu kembali mengeluarkan suaranya.
Setelah semua oleh-oleh telah keluar dari tasnya, dan telah berpindah tangan kepada bocil-bocil tadi, dengan wajah sumringah merekapun akhirnya tertidur lelap. Seperti biasa, setiap kali aku mengunjungi keponakan-keponakanku, kami selalu tidur bersama berkumpul dalam satu kamar dengan kasur big size. Dikarenakan suhu daerah ini yang tidak terlalu hangat, sehingga tidur bersama-sama pun justru menghangatkan tidur kami.
Kupandangi wajah-wajah polos yang berbaring di dekatku. Tenang, damai tampak tiada beban yang tergambar pada wajah mereka.
Mata ini masih belum dapat terpejam meski sebenarnya tubuh lelahku sudah sangat ingin beristirahat. Kembali kuteringat dengan pertanyaan Yim (atau tuan Crab) sore tadi. Apakah aku akan menikahi orang yang kucintai? Apakah orang yang menikahiku adalah orang yang mencintaiku? Bukankah tidak sedikit pasangan menikah di dunia ini yang menikah meski tanpa saling mencintai? Bukankah cukup banyak orang-orang di dunia ini yang mencintai seseorang namun tidak bisa menikahinya? Ah, aku bahkan tidak ingin melanjutkan untuk memikirkannya. Agak rumit memikirkan sesuatu yang bahkan belum terjadi.
Yang pasti, berada di sekitar keluarga, teman-teman, orang-orang yang mencintai kita adalah sesuatu yang sangat patut untuk disyukuri tanpa harus repot memikirkan apa yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam hidup, bukankah kita terkadang harus mengikhlaskan apa yang sangat kita cintai namun di sisi lain kita juga harus tetap bertahan, suka tak suka mau tak mau terhadap sesuatu atau kondisi yang tidak kita sukai atau nyaman bersamanya? Ya, seperti itulah kira-kira. Sepeti itulah hidup. Bukankah begitu?
“Hidup adalah tentang keseimbangan antara bertahan dan melepaskan” – Rumi –
KOMENTAR