Inilah ulama, pandeka dan seniman sekaligus. Syekh Adam BB, putra penghulu adat terpandang. Muncul dari dunia persilatan sebagai parewa gadang.. Lantas berbalik seratus delapan puluh derajat: alim, mendirikan dan memimpin madrasah, pembela agama yang tangguh, keras, tapi pemelihara anak yatim yang tabah.
SYEKH ADAM BB, atas izin Allah menghirup udara dunia 1889 di Nagari Balai-balai Padang Panjang. Tanggal dan bulannya persis sama dengan kelahiran Wilhelmina, ratu Negeri Belanda, yang tiap ulang tahunnya dirayakan dengan pesta rakyat di tanah jajahan Hindia Belanda.
Adam seyogyanya memperoleh kesempatan pendidikan lebih tinggi daripada kebanyakan bumi putera. Karena dialah putra Sami’un Datuk Bagindo, penghulu pucuk yang terkenal sebagai pemutus kata pada tiap perundingan ninik mamak. Tapi Adam menampik untuk masuk Sekolah Raja di Bukittinggi – sebuah lembaga pendidikan elit Belanda. Alasan Adam, “Aku tak suka pakai pentalon.”
Selesai Sekolah Desa, ia masuk Governement dan lulus dengan angka tinggi. Bagi Adam muda, itu saja cukuplah. Anak keluarga terpandang ini justru memilih mendalami silat. Dasar-dasar ilmu bela diri tradisional itu memang telah dikuasainya sejak kecil ketika di surau, di mana dulu ia tidur, belajar, membaca Qur’an dan dan ilmu agama.
Sepanjang sepuluh tahun pada masa mudanya, hingga usia menjelang 25 tahun, Adam telah berguru pada puluhan pandeka kenamaan dari berbagai aliran dan sasaran silat. Puncaknya, Adam mematahkan perlawanan harimau dalam suatu pertarungan mencekam di tepi bukit di kawasan Agam.
Sejak itu tampillah Adam yang bertubuh tinggi kekar sebagai parewa gadang.
Temperamennya tinggi. Wataknya keras dan pantang kelangkahan. Pemuda yang sehari hari memakai baju gunting cina cap kelapa serta sarung melilit bahu ini mencuat sebagai rajo cakak. Kegemarannya main sepak bola dan musik.
Setelah merasa dewasa, ia pergi mencari untung ke Sawahlunto. Di sana ia langsung diterima bekerja di Tambang Batubara sebagai mandor orang rantai, sebutan untuk buruh tambang ketika itu. Beberapa bulan bekerja di tambang, Adam pulang membawa segepok uang untuk diserahkan pada ibunya di kampung.
“Bukan ini yang kuharap darimu!”, sergah sang ibu sambil mencampakkan uang pemberian itu.
lnilah anti-klimaks keparewaan seorang Adam. Sebuah kenyataan yang memaksanya mengartikan kembali perjalanan hidup. Bahwa menjadi orang bagak dan ber-uang bukanlah sukses, tidak suatu kebanggan bagi ibu, para orang tua dan masyarakat pribumi yang mengerti pahitnya hidup dijajah.
Kesadaran ini mencuat kembali dalam diri Adam. Masa kecil di surau. Mengaji dan
belajar silat agar menjadi orang pandai dan berilmu adalah untuk melawan kemungkaran, membela kebenaran, membela yang lemah dan tertindas. Ini merupakan kesadaran kolektif ideal masyarakat di mana Adam hidup dan dibesarkan. Kesadaran itulah yang membuat hardikan ibunya menjadi cambuk yang menyebabkan Adam luluh, lalu berlari ke Surau Jembatan Besi. la ingin mengaji lagi. Di surau yang merupakan basis Ulama Minangkabau awal abad ke-20 ini Adam diterima menjadi murid Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul).
Murid tertua dan bertubuh paling gedang ini sering jadi bahan ledekan teman-temannya. lnyiak Rasul, gurunya, juga tidak mengasih ampun. Bila Adam tak cepat menangkap kaji, ia didamprat: “Segaek ini lambat juga mengerti.” Adam terlecut. “Jangan panggil aku Adam kalau tak dapat kaji,” tekadnya. Memang, lepas mengaji di Surau Jembatan Besi, Adam lanjut berguru pada Syekh Daud Rasyidi yang baru saja pulang dari Mekah dan membuka surau di kampungnya, Balingka.
Tabiat parewanya masih saja sering terlongsong sewaktu mengaji dan tinggal di Balingka. Salah-salah banyak orang kena kakinya. lnyiak Daud yang juga pandeka tahu persis bagaimana menundukkan seorang Adam. Di depan orang banyak, guru yang arif itu justru membela Adam walaupun salah. Beberapa kali peristiwa itu membuat Adam malu dan ragu. Akhirnya suatu kali di hadapan gurunya dia akui bahwa dialah yang menyebabkan cakak.
Plak! lnyiak Daud menampar muridnya. “Tahu bersalah kok tidak mengaku sejak awal,” katanya berang. Pendekatan yang diambil lnyiak Daud ini menimbulkan hubungan guru-murid yang akrab, dan kecintaan yang dalam murid terhadap guru.
Tahun 1914 Adam diantar lnyiak Daud untuk belajar ke surau lnyiak Jaho. Musibah menimpa Inyiak Jaho, galodo memporak-porandakan suraunya, sehingga murid-muridnya terpaksa pulang ke kampung masing-masing. Adam-lah yang tetap setia menemani gurunya.
Tidak sampai setahun belajar pada Syekh Muhammad Jamil Jaho, Adam mulai merasa cukup mantap untuk membuka surau sendiri. Pada 1916 Adam mulai merintis sebuah halaqah sederhana di kampung Pasar Baru Padang Panjang. Di bawah pengawasan Syekh Daud Rasyidi, 1920 halaqah itu kemudian diresmikan menjadi sebuah surau, yang populer disebut SPB singkatan dari Surau Pasar Baru. SPB tidak lain dari obsesi keulamaan dan kependekaran Adam. Orientasi pendidikannya ditekankan pada penanaman aqidah yang didukung dengan ilmu-ilmu agama, pembinaan fisik dan mental melalui latihan silat dan dilengkapi pula dengan pelajaran kesenian dan keterampilan.
Lulusan ideal surau yang dinginkan Syekh Adam BB ialah kombinasi ulama, pandeka dan jiwa seni yang mandiri dan terampil, seperti yang tergambar pada profil dirinya.
Tahun 1929 bersamaan dengan masuknya sistem pendidikan modern, SPB dikembangkan menjadi sistem klasikal, yang kemudian dinamai Madrasah lrsyadin Naas (M.I.N). M.I.N, yang hingga 2000-an awal masih eksis. Bahkan pada paruh awal abad ke-20 M.I.N merupakan satu dari empat madrasah terkemuka di Padang Panjang. Berdampingan dengan perguruan Diniyah Puteri, Thawalib dan Perguruan Muhammadiyah di Kauman.
Semangat anti penjajah yang tertanam kuat dalam diri Syekh Adam BB mempengaruhi perjalanan madrasah yang dipimpinnya. Ketika pemberlakuan Wilde Scholen Ordonantie oleh pihak Kolonial, guru M.I.N diintimidasi dan sebagian ditangkap. Sewaktu Jepang masuk, Syekh Adam BB langsung masuk daftar hitam. Beliau dikejar-kejar tentara Jepang. Ketika Agresi Belanda Syekh Adam BB menjadikan gedung M.I.N untuk dapur umum dan markas perlawanan. Di sana diatur semua taktik untuk menghancurkan konvoi musuh.
Cara yang ditempuh Syekh Adam BB mengajak orang ke jalan Islam menggambarkan sikapnya yang konsisten, keras tapi lugas, langsung dan sederhana.
Suatu kali beliau menegur seorang pemuda bagak. “Kenapa tidak shalat?”, tanyanya tajam.”Tidak punya kain sarung, Mak Adam,” jawab sang pemuda.
“lni kain sarung. Shalatlah!”, tukas Syekh Adam sembari menanggalkan sarung yang melilit bahunya.
Suatu kali beliau diberitahu Bung Hatta, proklamator RI, bahwa banyak anak-anak kaum dhuafa dan miskin di Mentawai. Hanya ada Missionaris di sana. Syekh Adam BB langsung datang ke kepulauan itu, mengambil dan membawa 18 orang anak ke Padang Panjang untuk dijadikan anak asuh dan bergabung dengan anak-anak yatim dan miskin yang telah beliau ambil sebelumnya.
“Anak-anak itu diberi makan oleh Allah,” jawab beliau setiap kali orang bertanya tentang bagaimana ia memelihara anak-anak itu. Beliau memperlakukan anak-anak asuhnya sebagaimana anak kandung sendiri. Sama makan, tempat tinggal, jatah pakaian dan keperluan lainnya.
Pada kali lain merebak perjudian di Padang Panjang. Syekh Adam BB minta bertemu gubernur. “Tuan seorang gubernur, kenapa orang berjudi saja tuan tak bisa melarang?” tanyanya. Besoknya segala bentuk perjudian langsung digrebek atas perintah gubernur.
Sebagai seorang otodidak, di samping terus menambah wawasan pengetahuan, Syekh Adam BB rajin mempelajari dan mempraktekkan macam-macam kerajinan industri kecil. Sampai usia lanjut beliau tetap produktif, berusaha tidak meminta pada orang lain untuk menghidupi dirinya, anak-istri, anak yatim dan miskin dipeliharanya, bahkan untuk mengayuh jalannya madrasah yang didirikannya.
Jejak-jejak Syekh Adam BB hingga kini masih membekas jelas di Padang Panjang dan dalam hati masyarakatnya.*/Irsyad Das.
KOMENTAR