Waktu itu aku masih kelas enam SD. Biasanya satu hari sebelum lebaran, kami sekeluarga mudik ke kampung halaman ibuku. Sebenarnya ibu tidak ingin mudik mengingat aku punya adik kecil yang masih berusia satu tahun.
“Ada Palasik di kampung, ibu takut adikmu kenapa-kenapa” itu jawab ibu saatku tanya kenapa ibu malas untuk pulang kampung. Kata ibu palasik itu bisa menghirup darah bayi sehingga bayi bisa mati kekurangan darah. Tapi aku mana percaya dengan hal itu, rayuan maut nenek dan indahnya pantai di kampung membuat aku kekueh ingin pulang kampung. Aku ingin berenang dan menyaksikan indahnya sunset di pantai. Karena aku mencari sejuta cara agar ibu mau pulang ke kampung. Untung ada ayah, kata ayah kalau tidak di hari Raya kapan lagi momen untuk silaturrahim bisa terjalin. Akhirnya ibupun mengangguk setuju. Itulah ibu, jika ayah yang berbicara pasti ibu langsung mengiyakan. Ayah adalah kartu as ku itu bisa membujuk ibu.
Besoknya kami sekeluargapun berangkat dengan menggunakan mobil Avanza kesayangan ayah. Akhirnya kami tiba di rumah nenek saat jam menunjukkan pukul lima sore. Bisa selamat tanpa macet di jalan sungguh luar biasa. Baru pertama kali ini kami tidak menghadapi macet di malam takbiran. Ayah menurunkan barang dibantu oleh adik laki-lakiku yang berumur dua belas tahun. Ibu langsung memasuki rumah sembari menggendong sibungsu yang masih terlelap dipangkuan ibu menghampiri nenek yang sudah di depan pintu dengan senyum sumringah di wajahnya. Sedangkan aku, jangan ditanya seperti biasanya aku melarikan diri ke pantai. Kebetulan pantai berada tak jauh dari rumah nenek.
“Kak, jangan ke pantai dulu! Sudah hampir magrib!” Ayah berteriak mengingatkan ku.
Tapi tidak kupedulikan, aku hanya tertawa seraya melambai tangan pada ayah mengisyaratkan bahwa aku hanya pergi sebentar, nanti juga akan pulang lagi. Ayah cuma bisa geleng-geleng kepala. Aku hanya ingin melihat fenomena alam yang satu ini, yakni sunset sungguh rugi kalau melewatkan peristiwa yang satu ini .
Saat ditempat aku sedikit kecewa, karena mataku dikotori oleh pemandangan yang tak enak dilihat oleh mata. Ternyata banyak orang berpacaran disini, mereka asyik berduaan sambil berpegangan tangan dengan santainya. Sepertinya dunia ini hanya milik mereka berdua, dasar tak tahu malu.
Tak ingin moodku hilang, aku segera mengasingkan diri ke tempat yang agak jauh dari keramaian, namun tetap bisa melihat matahari terbenam dari tempatku duduk. Selang beberapa menit, seorang ibu tua datang menghampiriku.
“Sendirian saja, Nak?” Tanyanya. Aku mengiyakannya.
Ketika kulihat wajahnya, banyak bekas luka di sana tapi sudah mengering. Dia mengambil duduk di sebelahku. Di saat itulah aku bisa melihat lebih dekat wajah ibu tua itu.
Kulitnya sangat pucat, banyak bintik hitam di wajahnya dan beberapa bagian badannya agak membiru. Aku ingin bertanya padanya namun urung karena ibu tua itu kembali membuka suara.
“Ingin melihat matahari terbenam, ya nak? Kenapa tidak bawa teman kesini?”
Aku tersenyum kikuk. “Saya baru datang kesini, bu. Beberapa menit yang lalu. Jadi tak punya teman untuk dibawa ke sini”
“Oh, baru mudik ya?” Tanyanya lagi. Aku mengiyakannya. Hening sesaat, kami berdua sama-sama menikmati matahari yang mulai tenggelam di bawah garis pantai dengan indahnya. Perlahan-lahan cahaya dunia itu mulai meredup. Sebahagian orang telah meninggalkan pantai untuk kembali ke rumah masing-masing.
Aku melihat ibu tua itu ia masih duduk terpaku melihat keramaian dan menatap kearah laut dengan wajah sendunya. Kasihan sekali, apakah yang membuat ibu itu sedih. Karena takut dimarahi ayah, akupun pamit pulang padanya.
”Maaf Ibu, saya pulang dulu, Udah keburu magrib,” kataku padanya. Ibu itu menoleh kepadaku
“Iya. Jangan lupa nanti malam kesini lagi. Ibu tunggu.” kata ibu itu dengan mata yang penuh harap. Tak tega aku untuk menolaknya, akhirnya akupun mengangguk setuju, walaupun permintaannya itu agak sedikit aneh bagiku.
***
Dengan sedikit berlari aku kembali ke rumah. Sesampai di rumah aku segera shalat magrib dengan ayah sebagai Imamnya. Saatnya makan malam, akupun menolong nenek menghidangkan makan malam. Ibu tidak bisa membantu nenek, karena si kecil sedang menyusu. Seperti biasa nenek akan bertanya tentang sekolahku, bagaimana nilai ujianku, teman-temanku bahkan hal yang tidak penting saja akan ditanyakan oleh nenekku. Aku menjawabnya dengan senang hati, aku suka dengan kecerewetan nenek yang peduli denganku, beda dengan ibu yang sedikit lebih pendiam dibandingkan nenek. Semua kisahku setahun ini kuceritakan ke nenek dari yang sedih sampai ke yang lucu, sehingga kamipun tertawa bersama.
Setelah semua beres, nenekpun meminta aku memanggil ayah dan Budi adik laki-lakiku untuk makan bersama, sedangkan ibu balik kekamar untuk meletakkan adikku yang telah tertidur lelap sehabis menyusu.
Inilah enaknya tinggal dirumah nenek, tradisi makan bersama, plus masakan nenek yang luar biasa. Betul-betul maknyos.
Saat makan, aku kembali teringat dengan ibu tua di pantai tadi.
“Nek, tadi aku lihat ada ibu tua aneh di pantai” kataku, sedikit memelan suara di bagian akhir, takut ibu mendengar.
“Aneh kenapa?” tanya ibuku penasaran, wah pendengaran ibu tajam sekali ternyata kekehku dalam hati.
“Itu bu, tadi pas aku mau pulang ibu tua itu menyuruh aku menemui beliau malam ini”
“Untuk apa?”tanya ibu ku lagi
“Nggak tahu bu, emang kalau malam hari pemandangan dipantai indah ya nek?”
Nenek hanya diam, kulihat auranya sedikit berubah.
“Tidak usah temui ibu itu, tidak baik anak gadis keluar malam-malam apalagi dipantai” Kata ibuku. Aku terdiam tapi tetap saja penasaran. Aku ingin tahu siapa ibu tua itu.
“Emang ibu itu siapa nek?” tanyaku lagi.
Nenek menggeleng. “Bukan siapa-siapa. Ayo makan.”
Aku bisa membaca bahwa nenek berusaha mengelak dari pembicaraan. Menurutku itu bukan jawaban, aku menilai ada sesuatu yang disembunyikan oleh nenek. Nenek hanya tidak mau memberi tahu padaku apa yang sudah terjadi. Sehingga jiwa keingintahuanku memberontak. Pokonkya malam ini aku harus menemui ibu itu, mencari tahu alasan ibu itu meminta aku untuk menemuinya.
Siap isya, kumandang takbirpun bersahutan. Ibu dan nenek asyik bercerita sambil menonton sinetron, sedangkan ayah dan adikku lebih memilih beristirahat dikamar. Dan aku ingat akan janjiku pada ibu tua aneh tadi.
Aku segera memaki jaket, dengan mengendap-endap aku keluar memakai sandal menuju pantai. Entahlah, wajah sendu nenek itu bagai magnet yang membuat jiwaku meronta untuk harus menemuinya.
Suasana di pantai malam ini cukup tenang. Sayup-sayup aku mendengar suara bapak-bapak takbiran. Kemudian suara petasan anak-anak yang bermain cukup jauh dari tempatku berdiri saat ini. Tidak ada pencahayaan yang terang. Hanya lampu dari rumah-rumah terdekat dan juga lampu sampan yang menerangi langkahku. Aku tidak takut karena dipantai masih ada orang yang lalu lalang. Angin menerbangkan rambutku dan disitulah ibu tua tadi mendadak sudah ada di belakangku.
Aku kaget. Benar-benar kaget.
“Ibu kira kamu tidak datang kesini.” Aku tersenyum tipis, benar saja ibu tua itu terlihat bahagia walau raut wajah sendu itu masih berbekas diwajahnya.
Ibu itu mengajakku duduk di dekat bebatuan sambil menikmati hembusan angin dan sampan yang berlayar dari kejauhan. Kami cukup lama terdiam sambil memandang laut lepas.
Dan lama kelamaan ku dengar ibu itu menangis sambil terisak pelan.
Aku yang khawatir langsung bertanya. “Ibu kenapa nangis?
“Tidak apa-apa. Ibu hanya rindu dengan anak ibu,” jawab ibu itu, sembari mengusap air mata dengan tangannya pelan.
Aku menduga, apakah ibu itu mungkin sedih karena anaknya tidak bisa datang untuk merayakan lebaran di sini bersamanya. Bagi seorang ibu, idealnya di malam penghujung Ramadhan semua anak harus berkumpul dengan ibunya.
Aku mengusap pundak ibu itu, semua sentuhanku sedikit menghiburnya.
“Sabar ya, bu. Mungkin anak ibu lagi sibuk jadi nggak bisa datang ke sini. Siapa tahu, besok ibu bisa lebaran bersama anak dan cucu ibu.”
Dia mengangkat kepalanya. Menatap pantai dengan pandangan sayu.
“Tidak, mereka sama sekali tidak sibuk,” ucapnya.
“Ibu masih bisa melihat anak-anak ibu dari sini. Mereka semua ada disini.”
Aku tidak mengerti. Tapi aku tidak ingin menyela.
Ibu tua itu menunjuk salah satu rumah yang pintunya terbuka di belakang tempat kami duduk. Ada seorang pria dewasa, seorang wanita dan seorang balita sama-sama menikmati keindahan pantai dari rumahnya. Aku tidak mengerti maksud ibu itu menunjuk kearah sana.
“Mereka disana. Laki-laki yang sedang menggendong anak itu adalah anak ibu. Umurnya sudah dua puluh tujuh. Dan anak kecil itu sudah berumur satu tahun. Ibu ingin sekali menggendong cucu ibu.”
Aku bertambah bingung, sungguh apa maksudnya ini. Ibu itu masih menatap lekat ke sana. Apakah anak ibu itu mengusir ibunya dari rumah?
Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Kenapa ibu tidak ke sana saja? Jaraknyakan dekat. Dengan demikian ibu bisa menggendong cucu ibu dengan sepuas-puasnya”kataku hati-hati.
“Bagaimana mungkin? Ibu tidak bisa ke sana. Bahkan jikapun ibu harus memaksa, mereka tidak akan tau ibu ada di sana.”
“Hah?”bulu kudukku mulai berdiri, begitu juga dengan bulu remang ditanganku, ada yang aneh dengan pernyataan ibu itu barusan.
Ibu itu memutar kepala kearahku. Sekarang nampak jelas wajahnya penuh membiru. Beberapa bagian wajahnya terluka seperti tergores batu karang. Aku terkejut. Tapi anehnya aku sama sekali tidak bisa menggerakkan badanku, lidahkupun kelu hilang sudah suaraku.
“Ibu sudah berbeda dunia dengan anak ibu.”
Aku segera istigfar, tak mampu lagi untuk tetap diam disana. Aku berteriak sangat kencang sambil berlari ke rumah. Nafasku naik turun tergopoh-gopoh membuka pintu. Ayah yang duduk di ruang tamu menatapku dengan cemas karena wajahku yang pucat.
“Ada apa Wi?” tanya beliau kepadaku.
Aku diam saja meninggalkan beliau, entahlah saat ini orang pertama yang ingin kutemui adalah nenek. Aku butuh kejelasan dari nenek.
“Nek, ibu tadi—dia,” aku mencoba mengatur nafas. Nenek yang seakan tahu apa yang terjadi menyuruhku duduk. Ibu juga keluar dari kamar. Mungkin terganggu akibat suaraku.
“Nek!” aku ingin sekali mendengar kejelasan dari nenek tentang wanita tua itu.
“Tadi kan ibumu sudah bilang jangan kesana. Makanya jadi anak jangan melawan. Tau kan rasanya,” nenekku malah mengejekku dengan sinis dengan nada suara yang tidak enak didengar sama sekali.
“Tapi nek, ibu tua itu siapa? Wajahnya tadi kenapa berubah mengerikan?”
Ibupun mengambil posisi duduk diantara kami.
Nenek menghela nafas. “ Anakmu harus diobati Wati, bilang sama suamimu. Dewi harus segera diobati”
“Maksud ibu apa?” tanya ibu tak mengerti
‘Siapa ibu itu nek, kenapa Dewi harus diobati?” tanyaku lagi, kembali aku merasa bulu tengkuk dan bulu remangku berdiri.
“Ibu yang kamu lihat itu adalah orang yang meninggal dua tahun yang lalu karena hanyut. Hampir dua minggu mayatnya tidak ditemukan. Kemudian salah seorang nelayan melihat ada jasad yang mengambang. Ternyata ibu itu, keadaannya sangat mengerikan. Wajahnya benar-benar hancur.”
“Tapi kenapa dia menampakkan dirinya, nek?”
“Dia meninggal tepat di malam takbiran. Tahun kemaren, anak pamanmu juga pernah melihat ibu itu di malam yang sama seperti malam ini. Katanya, dia menyesal tidak bisa lebaran bersama anak-anaknya. Makanya wanita itu selalu menampakkan diri setiap malam takbiran. Kadang wanita itu muncul juga dihari lain, karena banyak juga nelayan yang melihatnya dimalam hari. Awalnya banyak yang takut dengan keberadaan wanita itu. Tapi karena sudah terbiasa mereka tidak takut lagi”
“Jadi maksud nenek, yang aku lihat tadi adalah arwah penasaran ibu itu?”
Nenek menggagukkan kepala.
Kemudian nenek menambahkan kembali ceritanya.
“Dan konon katanya, orang yang sudah melihat wajahnya akan selalu ditemani oleh ibu itu.” Akupun terkejut setengah mati, dan langsung pingsan karena ibu tua itu telah ada di belakang nenek tersenyum kearahku!
KOMENTAR