Gelora Seorang Anak Nyai

Karya: Reylita Putri Ramadhan

 

Suara decitan roda kereta terdengar nyaring. Saat kusir berteriak ‘telah sampai di tujuan’ dari tempat duduknya. Langsung saja aku keluar dan menginjakkan kaki di halaman sebuah rumah besar dihadapanku ini. Akhirnya wonokromo, aku telah sampai di depan rumahnya. Dari penampakannya, rumah ini seperti sedang ditinggal penghuninya. Dan seakan mengetahui isi pikiranku, seorang laki-laki pribumi mendatangiku terburu-buru. Aku mengenali orang itu. Rajiman namanya, ia adalah salah satu tukang kebun disini.

“Den Aryo, silahkan masuk dahulu. Tuan Henry sedang pergi ke kantor surat sebentar. Hanya ada Nyai Noerani dirumah.” Katanya, setelah itu ia tersenyum aneh yang membuat keriput-keriput diwajahnya tertatarik.

“Baik terima kasih Rajiman”

“Nggih Den. Mari ikut.” Rajiman berjalan lebih dulu menuntunku menuju teras rumah.

Aku duduk disalah satu kursi yang telah disediakan. Sedangkan Rajiman langsung pergi setelah bertanya ‘aku ingin minum apa’. Tentu saja susu. Dirumah ini susu adalah penghasilan terbesar penghuninya. Ada puluhan ekor sapi perah yang dijadikan ladang usaha produksi susu. Dan pemilik rumah ini adalah Sir Dedrick Router. Ya, Nederland. Sir Dedrick tidak mempunyai istri, melainkan mengangkat seorang perempuan pribumi menjadi gundiknya. Nyai Noerani menjadi panggilan wanita itu. Entah apa yang terjadi diantara mereka berdua, sehingga hubungan majikan dan gundik itu berubah menjadi romantis. Dalam pasangan itu lahir seorang anak laki-laki bernama Henry Routier. Namun manusia campuran Indo-Nederland itu lebih suka dipanggil Hardiyan. Meski keseluruhan bentuk fisiknya hampir menyerupai ayahnya. Hardiyan adalah teman baikku sejak duduk di bangku tahun pertama di HBS, pintar, kritis dan hebat. Tiga kata itu sangat mendeskripsikan dirinya. Sayangnya, dipergaulan HBS. Anak seorang Nyai sering dicela bahkan dihina. Mereka diperlakukan sangat buruk oleh murid-murid HBS. Tak hanya murid Naderland, terkadang beberapa kaum pribumi elit alias kaum priyayi juga menghina anak seorang Nyai.

Nyai panggilan untuk perempuan pribumi yang tinggal bersama orang-orang Belanda, Tiongha ataupun Inggris, tanpa memiliki ikatan hubungan pernikahan. Tentunya menjadi seorang Nyai berdampak buruk ataupun baik. Berdampak buruk karena dianggap sangat menyalang di mata masyarakat dan baik apabila Nyai diperlakukan baik oleh tuannya. Dan itulah yang dirasakan oleh Nyai Noerani hingga sekarang. Perempuan itu sedang berhadapan denganku saat ini.

“Bagaimana tahun keduamu di HBS? Kabar bagus bukan?” Nyai bertanya sambil menegakkan kepalanya lurus. Sangat tajam dan tegas. Perempuan itu berhasil mendidik Hardiyan hingga ia menjadi alasan kuat pria itu untuk terus belajar dan cinta tanah airnya.

“Semuanya aman Nyai” jawabku seadanya.

“Kau pasti akan bersekolah lanjut ke STOVIA bukan? Hardiyan juga sangat ingin masuk ke STOVIA. Tapi Pedrick akan membawanya ke Belanda setelah ia lulus dari HBS” aku tertegun mendengar ucapan Nyai, Hardiyan memang pernah cerita ingin masuk STOVIA dan bergabung dalam organisasi pemuda disana Budi Utomo. Namun  setengah dari darah dalam dirinya adalah Nederland. Apakah itu mungkin?

Tiba-tiba sebuah kereta kuda masuk dan berhenti dihalaman depan rumah. Dari kereta itu keluar Hardiyan dengan tumpukan surat kabar yang ada ditangannya.

“Wah Aryo! Kau sudah sampai rupanya.” Seru pria itu langsung berlari dan menyambarku dengan pelukan.

“Ya, bisa kau lihat sendiri bukan?”

“Lihat ini! Tulisanmu dan milikku sudah diterbitkan di surat kabar De Express” Hardiyan menodongku dengan surat kabar yang ada ditangannya. Aku pun menerima dan membaca surat itu dengan teliti. Kedua sudut bibirku terangkat kala melihat judul tulisanku dimuat besar-besaran disana. ‘Njai Boekan Perempoen jang Terkoetoek. Oleh Allan w.’

“Kau beruntung sekarang kau terkenal dengan nama samaranmu.” Kekeh Hardiyan. Aku pun ikut tergelak jadinya. Kami berdua sering mingirim tulisan-tulisan kami di surat kabar. Isinya tentang berita terkini bahkan pendidikan. Terutama Hardiyan, pria itu sangat sering menulis. Bahkan cita-citanya menjadi seorang wartawan. Padahal hardiyan juga hebat dalam bidang kesehatan. Namun, ia ingin terjun ke bidang jurnalistik dan politik, keinginannya tentu sangat didukung oleh Nyai Noerani dan Sir Dedrick.

Kecintaan Hardiyan pada ilmu, membuatnya merasa sangat sayang jika ilmu-ilmu yang dia punya tidak dibagikan pada pribumi lainnya. Lalu bertambahlah cita-citanya ingin memajukan pengajaran dan pendidikan para pribumi. Maka dari itu ia sangat ingin masuk STOVIA dan bergabung dengan Budi Utomo. Demi merintis cita-citanya, Hardiyan memulai dengan mengajarkan baca tulis kepada pribumi-pribumi yang bekerja dirumah ini. Bahkan Hardiyan pernah memintaku untuk menemaninya pergi ke STOVIA hanya untuk melihat-lihat saja.

“Orang-orang pribumi sebenarnya sangat hebat. Meraka mempunyai potensi apabila mendapatkan ilmu yang sesuai dengan mereka. Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, pembelajaran dan pengajaran itu penting agar bisa memerdekakan diri mereka sendiri.” Hardiyan berucap demikian sambil menggebu-gebu.

“Tapi Nyai bilang kau akan dibawa Sir Dedrick ke Belanda. Kau yakin tetap masuk STOVIA?”

“Yakin, aku akan bicara mengenai ini dengan papa. Kau jangan khawatir. “

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Lalu lanjut membaca surat kabar yang terdapat tulisan Hardiyan disana. Isinya tentang pendidikan dan berita-berita tentang pemerintah.

Waktu demi waktu pun berlalu. Sekolahku, HBS, mengungumkan siswa-siswa terbaik yang akan mereka kirimkan ke Belanda untuk belajar lanjut kesana. Namaku dan Hardiyan keluar, bersama satu orang murid nederland. Aku memutuskan untuk menolak kesempatan itu, karena STOVIA menungguku. Hardiyan pun sama denganku. Namun ayahnya tidak menerima keputusan itu. Hardiyan dipaksa berangkat ke belanda dengan ayahnya. Sedangkan Nyai Noerani tidak bisa berbuat apa-apa dengan itu.

Dalam waktu dekat dengan keberangkatannya ke Belanda. Hardiyan sempat menuliskan sebuah surat yang ditujukan kepadaku, juga mengirimkan beberapa tulisan-tulisannya yang tidak sempat ia kirimkan ke surat kabar De Express. Isi surat itu menyatakan penyesalannya yang tidak bisa ikut denganku ke STOVIA dan isi tentang tulisan-tulisannya mengajak para pribumi sadar dan memiliki pemikiran yang merdeka. Dan aku yakin saat aku membaca tulisan ini Hardiyan telah pergi berangkat ke Belanda. Dan pria pirang itu akan berusaha dan melanjutkan impianya.