ALIVE
Karya Roja Nabila Putri
Malam hari itu hujan deras, ketika hujan pada umumnya orang-orang akan berteduh sembari menunggu dengan harapan buliran air itu berhenti dan bisa melanjutkan aktivitas kembali. Atau jika memang sudah berada di rumah, orang-orang akan bergelung dalam selimut dan bersenda gurau bersama keluarga. Hal serupalah yang tengah aku lakukan bersama kedua orang tuaku saat itu, kami bertiga saling berbagi kasih. Aku yang tidur di pangkuan ibu dan ayah yang bercerita tentang masa kecilnya dan sesekali menggelitikku. Malam yang dingin seakan terasa hangat karna limpahan kasih sayang orang tuaku, namun tiba-tiba ada yang aneh. Raut wajah ayah dan ibu tiba-tiba murung lalu setetes air mata ibu jatuh dan mengenai wajahku. Melihat hal itu, ayah langsung mengusap lembut air mata ibu yang mulai berjatuhan dan berkata “Tidak apa-apa sayang, semuanya akan baik-baik saja.”
Tuturan lembut ayah malah makin membuat ibu tak kuat menahan bulir-bulir air matanya yang sedari tadi menumpuk di pelupuk mata dan terus berjatuhan dengan cepat. Hatiku tak kuat melihat ibu menangis, namun air mataku seakan mendadak kering dan hanya ada raut sedih di wajahku. Ayah memandangku cukup lama, setelah itu ayah mencium dahiku sembari berucap “Tetaplah hidup.”
Lalu ibu menggendongku dan mengucapkan selamat tinggal kepada ayah. Dapatku lihat ayah melambaikan tangannya ke arahku dan tersenyum dengan wajah yang dipenuhi air mata. Aku tak paham dengan situasi malam itu, padahal kami baru saja bersenda gurau bersama lalu tiba-tiba orang tuaku bersedih dan ibu membawaku keluar. Apa yang terjadi? di usiaku yang saat itu masih 6 tahun, aku benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi. Aku dan ibu berjalan beriringan di bawah hujan deras tanpa payung ataupun mantel. Biasanya ibu akan marah jika aku bermain hujan, namun sekarang malah berkebalikan.
“Ibu, apa kita akan bermain hujan?”
Hal itulah yang aku tanya saat itu kepada ibu, dengan harapan ibu akan menjawab iya lalu aku dan ibuku akan bermain di bawah hujan. Tapi ibu hanya memandangiku sebentar dan kembali melihat ke depan. Aku dan ibu terus berjalan, sampai akhirnya ibu menghentikan langkahnya dan kami berhenti di jalan yang tak pernah aku lewati sebelumnya, tempat ini benar-benar asing. Lalu tiba-tiba ibu mencium dahiku dan memasukkan bungkusan hitam ke dalam kantong celanaku. Setelahnya datang mobil hitam dengan paman yang langsung memayungiku.
“Kakak apa kau benar-benar yakin?”
“Aku sudah berjanji kepada tuhan untuk terus bersamanya.”
“Suamimu akan marah jika kau seperti ini?”
“Marah pun kami akan sama-sama berakhir.”
Dapatku lihat wajah pamanku terlihat kecewa dan sedih, lalu yang berikutnya terjadi paman membawaku ke mobil dan melaju kencang setelahnya. Aku ingin melihat ibu, tapi karna hari masih hujan deras, sulit untuk mengintip keluar.
“Paman, kita akan kemana? Kenapa ayah dan ibu tak ikut?”
Jujur saja pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Paman memandangku dan tersenyum lalu mengusap lembut pucuk kepalaku
“Saat besar nanti kau akan paham.”
KOMENTAR