Pada Jingga dan Udara Kala Itu

 

Pada jingga hari itu, tawamu tergambar begitu semu.

Tak tau, aku tak tau, kapan aku akan kembali bercengkrama denganmu.

Yang pasti, aku sudah tau bahwa jingga di belakangmu adalah warna untukku.

Tidak, sebenarnya aku tidak tau, tapi yang jelas, aku suka sensasi kala itu.

Hadirmu kala itu, seolah menerbangkan bermiliaran impian yang sempat terpukul jatuh oleh kenyataan.

 

Waktu itu kau sebut namaku, terdengar suaramu keluar begitu malu.

Dan saat itu pula bermiliar kupu-kupu mulai terbang memenuhi ruang yang ada di sekitar aku dan kamu. Yang ku tunggu sedari dulu, yang ku tunggu di waktu itu, dan kala itu aku dapatkan kesempatan itu.

 

Kita yang sebelumnya hanya saling berlalu

Namun di detik itu, di jingga itu, dan di bisikan itu,

jantungku sempat hilang dalam rongganya, dalam tempatnya, entah kemana.

 

Kita memang hanya sebentar, layaknya jingga kala itu

Namun aku tau, disetiap detik-detik itu membuatku begitu gila

Jantungku entah kemana, ragaku seolah benar-benar hilang

sukmaku seolah terbang saat impian itu kau pukul ke udara, terbang bebas menuju cakrawala.

 

Kita hari itu memang layaknya jingga, indah, namun sebentar saja.

Banyak prasangka yang terlintas dalam pikiranku,

Aku berkali-kali mencoba menepisnya

Ku harap, kita yang tak pernah tau apa–apa ini setelah hari itu dan jingga kala itu

Kita sama-sama akan sulit untuk melupakan detik di hari itu, di jingga itu, dan impian yang mengudara kala itu.

 

Kau berhasil membunuhku diantara darah dalam jingga, diantara waktu dan udara

Yang sempat  terlukiskan di bumantara, yang membunuh kita

Tapi entahlah

Aku merasa hanya aku sepertinya

 

Namun kusadari, dalam tawa dan dalam jingga yang hilang saat itu juga.

Di setiap detik yang berlalu, Aku suka segalanya.

Dan kenangan itu takkan pernah terlupa

 

Koto Gaek, 31 Juli 2022

00.21 AM

 

 

Tentang Langkah dan Bayanganmu yang Semu

 

Langkah demi langkah ku ciptakan,

namun mengapa masih jua punggungmu terasa jauh untukku dapatkan?

Langkahmu masih sulit untuk kusesuaikan

dan bayangmu semakin lama semakin semu, hampir hilang

remang-remang seolah ada dan tiada.

 

Aku bingung, langkah demi langkah kulewati,

tapi mengapa langkah kakiku tak jua berhenti?

Dan kau masih saja tak henti-henti untuk pergi?

Bagimana aku harus berlari,

sedangkan langkahku seolah memberhentikan

yang berhenti dalam raga, dalam jiwa, dalam semesta

dan dalam kita yang sebatas imajinasiku saja.

 

Langkah demi langkah masih kulangkahi,

Tapi masih jua kau tak menoleh menungguku dan berhenti.

Meski pada dasarnya kutahu

bahwa kau hanya sesuatu yang semu

yang tak terlihat oleh mata

yang membunuhku dalam ilusi imajinasi liar si penyuka vanilla.

 

Langkah demi langkah terus ku langkahi,

tapi mengapa semakinku perhatikan semakin semu pula ragamu, bayangmu

melebur dengan rasa yang masih sempat tertahan kebuasaan hasrat tawa dan tanda tanya.

 

Langkah demi langkah masih ku langkahi

berharap kau berbalik menghadap bilik letihku

yang mengendalikan suara suara yang tertahan dalam

dalam liarnya perangkap ketidakpastian.

 

Dari langkah ini aku mengerti

Bahwa kau sebenarnya adalah bayangan belakang tubuhku sendiri

Begitu semu, begitu abu, sulit untuk kutuju

Sulit untukku buru dengan keperihan, dengan senandung kesedihan

Karena kau hanya sebuah bayangan belakang

Tak akan bisa ku kejar jikalau dari depan, belakang, kiri, dan kanan.

 

Langkah demi langkah masih jua kulangkahi

hingga aku berhenti diantara empat persimpangan,  jingga dan abu-abu, hitam dan biru.

Diantara bola matamu, diantara kantung matamu, diantara segala ketidaksukaanmu pada langkahku.

 

Meski kau hanya imajinasi, kenapa kau begitu hidup dan menghidupi?

Rasa dan merasai? Kecewa dan mengecewai?

Padahal yang kau beri, hanya luka yang jatuh saat aku berlari.

Pada jingga kala itu, aku sempat  memberhentikanmu, memberhentikanmu, melewati biru kala itu.

 

Koto Gaek, 05 September 2022

08.48 PM